Apa Saja Dasar Hukum Asuransi Syariah?


Dalam menjalankan program asuransi syariah tidak lepas dengan dasar hukum yang menjadi pijakan program tersebut. Landasan hukum yang digunakan dalam asuransi syariah, secara umum berdasarkan penafsiran atas ayat-ayat al-Quran, Hadits, serta pendapat para ulama. Di bawah ini akan diuraikan landasan yang menjadai dasar hukum asuransi syariah tersebut satu persatu yakni:

1. AL QUR’AN

Secara tekstual dalam al-Quran tidak ada satupun ayat yang menjelasakan mengenai asuransi secara leterlek. Akan tetapi dalam ayat-ayat tertentu terdapat dalil-dalil yang bersifatkonotasi yang dapat diartikan dengan substansi yang dimaksudkan dengan asuransi itu sendiri. Selain itu juga dalam al-Quran terdapat ayat-ayat yang berkaitan dengan asuransi, ayat-ayat tersebut adalah:

a. Perintah Allah untuk mempersiapkan hari depan
Apa Saja Dasar Hukum Asuransi Syariah?
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang Telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan (Q.S. Al Hasyr: 18)

b. Perintah Allah untuk saling menolong dan bekerja sama untuk bantu-membantu
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram], jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu Telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum Karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya (Q.S. Al Maidah: 2)
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa (Q.S. Al Baqarah: 177)

c. Perintah Allah untuk melindungi dalam keadaan susah 

Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan (Q.S. al-Quraisy: 4)
 
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman: "Dan kepada orang yang kafirpun Aku beri kesenangan sementara, Kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan Itulah seburuk-buruk tempat kembali (Q.S. Al Baqarah: 126)

d. Perintah Allah untuk berusaha dan tawakal
Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu (Q.S. At Taghabun: 11)
Sesungguhnya Allah, Hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari Kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal (Q.S. Lukman: 34)

2. HADITS

Berikut ini adalah sejumlah hadits yang menjadi dasar hukum asuransi syariah yakni:
Barang siapa melepaskan dari seorang muslim suatu kesulitan di dunia, Allah akan melepaskan kesulitan darinya pada hari kiamat; dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya(HR. Muslim dari Abu Hurairah).
Perumpamaan orang beriman dalam kasih sayang, saling mengasihi dan mencintai bagaikan tubuh (yang satu); jikalau satu bagian menderita sakit maka bagian lain akan turut menderita” (HR. Muslim dari Nu’man bin Basyir).
Seorang mu’min dengan mu’min yang lain ibarat sebuah bangunan, satu bagian menguatkan bagian yang lain (HR. Muslim dari Abu Musa al-Asy’ari).
Barang siapa mengurus anak yatim yang memiliki harta, hendaklah ia perniagakan, dan janganlah membiarkannya (tanpa diperniagakan) hingga habis oleh sedekah (zakat dan nafakah) (HR. Tirmizi, Daraquthni, dan Baihaqi dari‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya Abdullahbin ‘Amr bin Ash).
Kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat yang mereka buat kecuali syarat yang mengharamkan yang halal ataumenghalalkan yang haram.”(HR. Tirmidzi dari ‘Amr bin‘Auf).
 Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain.”(Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah dari ‘Ubadah bin Shamit, riwayat Ahmad dari Ibnu‘Abbas, dan Malik dari Yahya).

3. PENDAPAT PARA ULAMA

Para ahli hukum Islam (fuqaha) menyadari sepenuhnya bahwa status hukum asuransi syariah belum pernah ditetapkan oleh pemikiran hukum Islam di zaman dahulu. Pemikiran mengenai konsep asuransi mulai muncul ketika terjadi akulturasi budaya antara Islam dengan Budaya Eropa. Akan tetapi bila dicermati lebih dalam, akan ditemukan bahwa asuransi itu di dalamnya terdapat kemaslahatan, sehingga para ulama mengadopsi manajeman yang ada dalam asuransi dengan memasukkan prinsip-prinsip syariah.

Berdasarkan hal tersebut para ulama mengeluarkan fatwa dan rekomendasi melalui Muktamar Ekonomi Islam yang berlangsung pertama kali di Mekkah pada tahun 1976. Kemudian rekomendasi tersebut dikuatkan dengan pertemuan Majma Al-Fiqh Al-Islamy di Jeddah pada tanggal 28 Desember 1985. Para ulama sepakat untuk menyerukan agar warga masyarakat Islam di seluruh dunia menggunakan asuransi ta’awun.

Sebelum keputusan yang dijelaskan di atas muncul ulama-ulama terdahulu telah memberikan ketentuan mengenai asuransi syariah dan dikategorikan sebagai dasar hukum asuransi syariah, diantaranya terdapat pada:

a. Kaidah-kaidah fikih tentang muamalah
Pada dasarnya, semua bentuk mu’amalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
”Segala mudharat harus dihindarkan sedapat mungkin.”

“Segala mudharat (bahaya) harus dihilangkan.”

b. Piagam Madinah

Rasulullah SAW mengundangkan sebuah peraturan yang terdapat dalam piagam madinah yaitu sebuah konstitusi pertama yang memperhatikan keselamatan hidup para tawanan yang tinggal di Negara tersebut. Seseorang yang menjadi tawanan perang musuh, makaaqilah dari tawanan tersebut akan menyumbangkan tebusan dalam bentuk pembayaran (diyat) kepada musuh, sebagai pesanan yang memungkinkan terbebaskan tawanan tersebut. Sebagaimana kontribusi tersebut akan dipertimbangkan sebagai bentuk lain dari pertanggungan sosial.

c. Fatwa Sahabat

Praktik sahabat berkenaan dengan pembayaran hukuman (ganti rugi) pernah dilaksanakan oleh Umar bin Khattab. Beliau berkata:

“orang-orang yang namanya tercantum dalam diwam tersebut berhak menerima bantuan dari satu sama lain dan harus menyumbang untuk pembayaran hukuman (ganti rugi) atas pembunuhan (tidak disengaja) yang dilakukan oleh salah satu seorang anggota masyarakat mereka.”

Umar lah orang yang pertama kali mengeluarkan perintah untuk menyiapkan daftar secara profesional per-wilayah, dan orang-orang yang terdaftar diwajibkan saling menanggung beban.

d. Ijma’

Para sahabat telah melakukan ittifaq (kesepakatan dalam hal ‘aqilah yang dilakukan oleh khalifah Umar bin Khattab. Adanya Ijma’ atau kesepakatan ini tampak dengan tidak adanya sahabat yang lain yang menentang pelaksanaan ‘aqilah ini. Jadi dapat disimpulkan bahwa telah terdapat ijma’ di kalangan sahabat nabi mengenai persoalan ini.

e. Qiyas

Sebagaimana kita tahu bahwa konsep asuransi yang dilakukan dewasa ini sama dengan ‘aqilah pada zaman pra Islam yang kemudian diterima oleh Rasulullah SAW menjadi bagian dari hukum Islam. Dengan demikian hukum asuransi ini diqiyaskan dengan hokum ‘aqilah.

f. Istihsan

Kebaikan dari kebiasaan ‘aqilah di kalangan suku Arab kuno terletak pada kenyataan bahwa sistem ‘aqilah dapat menggantikan atau menghindari balas dendam berdarah yang berkelanjutan.

4. REGULASI ASURANSI SYARIAH DI INDONESIA

Dari segi hukum positif di Indonesia asuransi syariah berdasarkan pada Undang-Undang No.40 tahun 2014 tentang perasuransian. Undang-undang tersebut berlaku pada asuransi konvensional dan asuransi syariah, walaupun di dalamnya belum menyebutkan secara jelas mengenai asuransi syariah.

Pedoman untuk menjalankan asuransi syariah terdapat dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Auransi Syariah, fatwa tersebut dikeluarkan karena regulasi yang ada tidak dapat dijadikan pedoman untuk menjalankan kegiatan Asuransi Syariah. DSN-MUI juga telah mengeluarkan fatwa lain yang berkaitan dengan asuransi syariah yaitu Fatwa No. 39/DSN-MUI/X/2002 tentang asuransi haji, Fatwa No. 51/DSN-MUI/III/2006 tentang Mudharabah Musytarakah pada asuransi syariah, dan Fatwa No.53/DSN-MUI/III/2006 tentang Tabarru’ pada asuransi dan reasuransi syariah.

Selain peraturan diatas masih ada peraturan yang lain yang berkaitan dengan asuransi syariah. Peraturan tersebut adalah Keputusan Menteri Keuangan (KMK) RI No. 426/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi, Keputusan Menteri Keuangan RI No. 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi, Keputusan Menteri Keuangan RI No. 426/KMK.06/2003 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.

Keputusan Menteri Keuangan No. 422/KMK.06/2003 tentang Pemeriksaan Perusahaan Perasuransian, Peraturan Menteri Keuangan No. 8/PMK.010/2010 tentang Penerapan Prinsip Dasar Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan Reasuransi dengan Prinsip Syariah, Peraturan Menteri Keuangan No. 11/PMK 0.10/2011 tentang Kesehatan Keuangan Asuransi dan Usaha Reasuransi dengan Prinsip Syariah, Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: Per-06/BL/2011 tentang Bentuk dan Susunan Laporan serta Pengumuman Laporan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi dengan Prinsip Syariah, Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: Per-07/BL/2011 tentang Pedoman Perhitungan Jumlah Dana yang diperlukan untuk mengantisispasi risiko kerugian pengelolaan dana Tabarru’ dan perhitungan jumlah dana yang harus disediakan perusahaan untuk mengantisipasi risiko kerugian yang mungkin timbul dalam penyelenggaraan usaha asuransi dan usaha reasuransi dengan prinsip syariah. Dan Keputusan Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan No.4499/LK/2000 tentang Jenis, Penilaian dan Pembatasan Investasi Perusahaan Reasuransi dengan Sistem Syariah. Semua keputusan tersebut menyebutkan mengenai peraturan sistem asuransi berbasis syariah.


Demikianlah sejumlah dasar hukum asuransi syariah yang dapat kami share. Dalam keputusan-keputusan di atas, telah diberikan definisi mengenai prinsip syariah dalam konteks asuransi syariah. Prinsip-prinsip tersebut adalah mengenai perjanjian yang berdasarkan dengan hukum Islam antara perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi dengan pihak lain. Dalam menerima amanah dengan mengelola dana peserta melalui kegiatan investasi atau kegiatan lain yang diselenggarakan sesuai syariah. Dari peraturan perundang-undangan tersebut menunjukkan adanya kemajuan dalam regulasi yang mengatur tentang asuransi syariah.