Perkembangan Asuransi Syariah berkaitan dengan penerapan ekonomi syariah pada saat ini. Dimana kondisi ini menuntut terjadinya reformasi diberbagai bidang keuangan baik itu pada lembaga keuangan bank yang berbasis syariah dan lembaga keuangan non-bank yang menerapkan sistem syariah, salah satunya adalah asuransi syariah. Asuransi syariah berasal dari budaya suku Arab dengan sebutan al-Aqilah.
Konsep al-Aqilah ini diterima dan menjadi bagian dari hukum Islam. “Aqilah” merupakan budaya yang terjadi pada suku Arab kuno. Jika seorang anggota suku membunuh seorang anggota suku lain, maka ada keharusan keluarga yang membunuh untuk memberikan sejumlah uang kepada keluarga korban. Praktik ini, jika dikaitkan relevansinya dengan konteks kekinian mempunyai kemiripan dengan praktik asuransi jiwa, adanya dana santunan kepada keluarga korban (Solikhan, 2015).
Perkembangan Asuransi Syariah
Awal mula perekonomian syariah di Indonesia ditandai dengan berdirinya bank syariah pertama di Indonesia. Kemudian terbentuk asuransi syariah yang diperkuat dengan adanya Tim Pembentukan Asuransi Takaful Indonesia (TEPATI) pada tahun 1993. Atas prakarsa Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) melalui yayasan Abdi Bangsa, bersama Bank Muamalat Indonesia Tbk, PT. Asuransi Jiwa Tugu Mandiri, Departemen Keuangan RI, dan beberapa pengusaha Muslim Indonesia, serta bantuan teknis dari Syarikat Takaful Malaysia, Bhd. (STMB), TEPATI mendirikan PT Syarikat Takaful Indonesia (Takaful Indonesia) pada 24 Februari 1994, sebagai pendiri asuransi syariah pertama di Indonesia (Mardani, 2015).
Di Indonesia pengetahuan masyarakat akan asuransi masih rendah dilihat dari Survei Nasional Literasi Keuangan 2013 data indeks literasi keuangan sektor jasa keuangan OJK bahwa masyarakat yang tergolong well literate mencapai 17,84 persen, sufficient literate mencapai 41,69 persen, less literate mencapai 0,68 persen, not literate mencapai 39,80 persen dan utilitas hanya 11,81 persen.
Menurut Hendrisman sebagaimana yang kami kutip di situs www.insuranceday.id bahwa berdasarkan data tahun 2013, menunjukkan bahwa 17,84 persen atau sekitar 18 dari setiap 100 penduduk di Indonesia sudah mengerti mengenai manfaat asuransi dengan baik atau well literate. Namun baru 11,81 persen yang menggunakan produk dan jasa perasuransian.
Baca pula: Pengertian Asuransi Menurut Para Ahli
Kondisi saat ini, asuransi syariah mengalami peningkatan dalam pertumbuhannya. Menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) Erwin Noekman menuturkan, setidaknya ada empat yang mempercepat laju positif yang mampu memberikan tenaga bagi perkembangan asuransi syariah di Indonesia.
Pertama, semakin banyaknya aksi korporasi perusahaan asuransi maupun reasuransi yang mengubah unit syariahnya menjadi perusahaan asuransi atau reasuransi yang beroperasi secara penuh (full fledge). Kedua, karena semakin banyaknya jumlah tenaga pemasaran di asuransi syariah. Data AASI (Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia) menyebutkan, hingga Juni 2016, sudah lebih dari 250.000 tenaga pemasar yang mendapatkan sertifikasi agen asuransi jiwa syariah. Ketiga, memegang peranan penting dalam menumbuhkembangkan asuransi syariah dalam negeri berupa literasi, edukasi dan regulasi asuransi syariah. Keempat, katalis positif asuransi syariah datang dari amnesti pajak (tax amnesty), hal ini membuka peluang bagi asuransi syariah. Menurutnya, dana-dana yang ada dapat digunakan untuk mendorong permodalan asuransi syariah agar mempunyai tingkat permodalan yang kuat agar mampu bersaing.
Berdasarkan Data Bisnis AASI bahwa untuk pertumbuhan aset, investasi dan kontribusi industri asuransi syariah di Kuartal I tahun 2016, mencatat pertumbuhan yang cukup baik dengan pertumbuhan aset asuransi syariah sebesar 21,69 persen dan investasi sebesar 23,64 persen. Sedangkan pertumbuhan kontribusi di tahun 2016 sebesar 10,25 persen, walaupun sebelumnya ada target pertumbuhan yang diharapkan yakni di atas 20 persen.
Dalam catatan OJK, sampai bulan November tahun lalu, industri asuransi syariah berhasil membukukan aset sebanyak Rp 32,5 triliun. Angka tersebut naik 27,9% jika dibandingkan pada periode yang sama di tahun sebelumnya. Kontribusi dari asuransi jiwa syariah masih mendominasi aset yang dimiliki oleh sektor perasuransian syariah yakni sebesar Rp 26,5 triliun. Ini setara 81,5% dari total aset perasuransian syariah. Sementara aset dari industri asuransi umum syariah dan reasuransi syariah masing-masing tercatat sebesar Rp 4,6 triliun dan Rp 1,35 triliun.
Namun, bila dibandingkan dengan total aset industri perasuransian secara nasional, pangsa pasar asuransi syariah memang masih terbilang mini. Sampai November 2016, pangsa pasar asuransi syariah baru mencapai 3,44%. Pertumbuhan aset perasuransian syariah terdorong dari pertumbuhan premi yang didapat pelaku usaha. Data per November 2016 mencatat, premi asuransi syariah Rp 10,9 triliun, naik 15,9% secara year on year (yoy).
Dibalik perkembangan asuransi syariah di Indonesia yang mengalami peningkatan, industri asuransi syariah di Indonesia memang masih tertinggal dibanding dengan negara lain. Begitu juga dengan perkembangan asuransi syariah di berbagai wilayah di tanah air. Ada hal yang menunjukkan bahwa tidak banyak masyarakat yang menikmati asuransi. Perusahaan asuransi, baik syariah maupun konvensional kebanyakan membidik masyarakat kelas atas. Hal ini dikarenakan masyarakat kelas atas lebih sadar asuransi dibandingkan dengan masyarakat kelas bawah. Kondisi ini terkait juga dengan tingkat kesejahteraan dan pemahaman masyarakat akan asuransi.
Paradigma berasuransi di masyarakat saat ini identik dengan kematian, kecelakaan, atau sakit. Sehingga ketika seseorang diajak berasuransi atau ditawari polis asuransi, mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan finansial diri sendiri dan keluarga. Jika paradigma ini dibiarkan terus-menerus hidup dalam masyarakat, perkembangan asuransi, baik syariah maupun konvensional akan tetap lambat.
Untuk menghilangkan paradigma tersebut, diperlukan edukasi dan sosialisasi ekstra dari perusahaan asuransi untuk menyadarkan masyarakat tentang manfaat asuransi. Asuransi adalah upaya melindungi diri dan keluarga dari berbagai risiko. Oleh sebab itu, paradigma masyarakat tentang asuransi, harus diubah dan diganti menjadi pesan kesejahteraan dan tolong menolong, sesuai dengan prinsip asuransi syariah.
Demikian secara ringkas perkembangan asuransi syariah di Indonesia dari sejak kemunculannya di Indonesia hingga kondisi dan tanggapan masyarakat Indonesia pada umumnya terhadap asuransi syariah.
Konsep al-Aqilah ini diterima dan menjadi bagian dari hukum Islam. “Aqilah” merupakan budaya yang terjadi pada suku Arab kuno. Jika seorang anggota suku membunuh seorang anggota suku lain, maka ada keharusan keluarga yang membunuh untuk memberikan sejumlah uang kepada keluarga korban. Praktik ini, jika dikaitkan relevansinya dengan konteks kekinian mempunyai kemiripan dengan praktik asuransi jiwa, adanya dana santunan kepada keluarga korban (Solikhan, 2015).
Perkembangan Asuransi Syariah
Awal mula perekonomian syariah di Indonesia ditandai dengan berdirinya bank syariah pertama di Indonesia. Kemudian terbentuk asuransi syariah yang diperkuat dengan adanya Tim Pembentukan Asuransi Takaful Indonesia (TEPATI) pada tahun 1993. Atas prakarsa Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) melalui yayasan Abdi Bangsa, bersama Bank Muamalat Indonesia Tbk, PT. Asuransi Jiwa Tugu Mandiri, Departemen Keuangan RI, dan beberapa pengusaha Muslim Indonesia, serta bantuan teknis dari Syarikat Takaful Malaysia, Bhd. (STMB), TEPATI mendirikan PT Syarikat Takaful Indonesia (Takaful Indonesia) pada 24 Februari 1994, sebagai pendiri asuransi syariah pertama di Indonesia (Mardani, 2015).
Di Indonesia pengetahuan masyarakat akan asuransi masih rendah dilihat dari Survei Nasional Literasi Keuangan 2013 data indeks literasi keuangan sektor jasa keuangan OJK bahwa masyarakat yang tergolong well literate mencapai 17,84 persen, sufficient literate mencapai 41,69 persen, less literate mencapai 0,68 persen, not literate mencapai 39,80 persen dan utilitas hanya 11,81 persen.
Menurut Hendrisman sebagaimana yang kami kutip di situs www.insuranceday.id bahwa berdasarkan data tahun 2013, menunjukkan bahwa 17,84 persen atau sekitar 18 dari setiap 100 penduduk di Indonesia sudah mengerti mengenai manfaat asuransi dengan baik atau well literate. Namun baru 11,81 persen yang menggunakan produk dan jasa perasuransian.
Baca pula: Pengertian Asuransi Menurut Para Ahli
Kondisi saat ini, asuransi syariah mengalami peningkatan dalam pertumbuhannya. Menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) Erwin Noekman menuturkan, setidaknya ada empat yang mempercepat laju positif yang mampu memberikan tenaga bagi perkembangan asuransi syariah di Indonesia.
Pertama, semakin banyaknya aksi korporasi perusahaan asuransi maupun reasuransi yang mengubah unit syariahnya menjadi perusahaan asuransi atau reasuransi yang beroperasi secara penuh (full fledge). Kedua, karena semakin banyaknya jumlah tenaga pemasaran di asuransi syariah. Data AASI (Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia) menyebutkan, hingga Juni 2016, sudah lebih dari 250.000 tenaga pemasar yang mendapatkan sertifikasi agen asuransi jiwa syariah. Ketiga, memegang peranan penting dalam menumbuhkembangkan asuransi syariah dalam negeri berupa literasi, edukasi dan regulasi asuransi syariah. Keempat, katalis positif asuransi syariah datang dari amnesti pajak (tax amnesty), hal ini membuka peluang bagi asuransi syariah. Menurutnya, dana-dana yang ada dapat digunakan untuk mendorong permodalan asuransi syariah agar mempunyai tingkat permodalan yang kuat agar mampu bersaing.
Berdasarkan Data Bisnis AASI bahwa untuk pertumbuhan aset, investasi dan kontribusi industri asuransi syariah di Kuartal I tahun 2016, mencatat pertumbuhan yang cukup baik dengan pertumbuhan aset asuransi syariah sebesar 21,69 persen dan investasi sebesar 23,64 persen. Sedangkan pertumbuhan kontribusi di tahun 2016 sebesar 10,25 persen, walaupun sebelumnya ada target pertumbuhan yang diharapkan yakni di atas 20 persen.
Dalam catatan OJK, sampai bulan November tahun lalu, industri asuransi syariah berhasil membukukan aset sebanyak Rp 32,5 triliun. Angka tersebut naik 27,9% jika dibandingkan pada periode yang sama di tahun sebelumnya. Kontribusi dari asuransi jiwa syariah masih mendominasi aset yang dimiliki oleh sektor perasuransian syariah yakni sebesar Rp 26,5 triliun. Ini setara 81,5% dari total aset perasuransian syariah. Sementara aset dari industri asuransi umum syariah dan reasuransi syariah masing-masing tercatat sebesar Rp 4,6 triliun dan Rp 1,35 triliun.
Namun, bila dibandingkan dengan total aset industri perasuransian secara nasional, pangsa pasar asuransi syariah memang masih terbilang mini. Sampai November 2016, pangsa pasar asuransi syariah baru mencapai 3,44%. Pertumbuhan aset perasuransian syariah terdorong dari pertumbuhan premi yang didapat pelaku usaha. Data per November 2016 mencatat, premi asuransi syariah Rp 10,9 triliun, naik 15,9% secara year on year (yoy).
Dibalik perkembangan asuransi syariah di Indonesia yang mengalami peningkatan, industri asuransi syariah di Indonesia memang masih tertinggal dibanding dengan negara lain. Begitu juga dengan perkembangan asuransi syariah di berbagai wilayah di tanah air. Ada hal yang menunjukkan bahwa tidak banyak masyarakat yang menikmati asuransi. Perusahaan asuransi, baik syariah maupun konvensional kebanyakan membidik masyarakat kelas atas. Hal ini dikarenakan masyarakat kelas atas lebih sadar asuransi dibandingkan dengan masyarakat kelas bawah. Kondisi ini terkait juga dengan tingkat kesejahteraan dan pemahaman masyarakat akan asuransi.
Paradigma berasuransi di masyarakat saat ini identik dengan kematian, kecelakaan, atau sakit. Sehingga ketika seseorang diajak berasuransi atau ditawari polis asuransi, mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan finansial diri sendiri dan keluarga. Jika paradigma ini dibiarkan terus-menerus hidup dalam masyarakat, perkembangan asuransi, baik syariah maupun konvensional akan tetap lambat.
Untuk menghilangkan paradigma tersebut, diperlukan edukasi dan sosialisasi ekstra dari perusahaan asuransi untuk menyadarkan masyarakat tentang manfaat asuransi. Asuransi adalah upaya melindungi diri dan keluarga dari berbagai risiko. Oleh sebab itu, paradigma masyarakat tentang asuransi, harus diubah dan diganti menjadi pesan kesejahteraan dan tolong menolong, sesuai dengan prinsip asuransi syariah.
Demikian secara ringkas perkembangan asuransi syariah di Indonesia dari sejak kemunculannya di Indonesia hingga kondisi dan tanggapan masyarakat Indonesia pada umumnya terhadap asuransi syariah.